Skip to main content

Perempuan Gila Masa Kini

Aku baca kembali bicara semalam pada nada yang beza
Lama sudah aku tidak menulis dengan rima yang jujur dari dada
Bahasa ibunda, biasa tapi mesra.

Orang bilang menulis rima bahasa
mudah, a, a, a, a, a, rimanya akan ada
ah mana sama, yang bermakna dan yang tiada
kan makna puisi itu pada pembaca bukan penulisnya.

Ini pula bukan puisi, bukan juga hanya rima
Ya, suka itu pada rima, seperti sukanya aku pada rupa kamu
tapi cinta hadir pada cerita, seperti cintanya aku pada jiwa kamu
Cerita berbeza, perempuan gila yang sama, memang selalu begitu
Tenggelam timbul, kadang lantang, kadang malu
Entah apa yang dia mahu.

Sukar sebenarnya menjadi perempuan dewasa
Harus lembut bagai tari jangan sampai dihenyak kepala di kaki
Harus indah pada rupa jangan pula itu sahaja yang ada, bahasa entah ke mana
Harus berilmu bagai tok guru baharu layak menjadi ibu, tapi terlebih tahu dibenci selalu
Harus mahir dapur, tahu mengampai jemur, tapi hebat bertukang tak siapa julang.
Harus begitu harus begini,
Dalam hatinya mahu jadi itu mahu jadi ini.
Mana tidak gila, perempuan masa kini?





Comments

Popular posts from this blog

The Day I Thought I Liked You (Love in Laugh and Loo)

The day I thought I liked you All the tweak and twist at the corner of your face seemed like a smile to me The actual profuse smiles of yours, were like stars that rained upon me Your eyes twinkled like glitters from a fairy’s wand, waving sending me spinning in a galaxy of a romantic hope Hope and belief, that I liked you The day I thought I liked you Your laughter sounded like rhythm of the ocean waves Full of energy from an orgy of the marine life dancing in carousel at the deep of your soul Your boisterous mirth in the loudness of a masculine voice tickled me like a mermaid’s hand carousing a harp made of wind howl then I laughed with you and thought I really liked you The day I thought I liked you Your sorrow was painful but beautiful Every crack in your voice when you spoke of your sadness was like the thumping sound of an angry angel’s singing, sending a throbbing shock to my heart, grasping with ...

Eucalyptus; A ghost.

In the deep dark of the dead dawn A forest of grief has grown Rest in rage, a corpse of Eucalyptus slow dancing in a hiatus The moon up so high in the sky hides his eyes away behind lashes of a shameful decay refuses to see how her body sways The riot rhythmic moves of her stained feet mopping the floor of the rooted, tangled deceit the dusty ashes of her lost sanity appeals for a fleet I remember how she opens her eyes when she cries Trying to roll back the tears forming a lake beneath her bosoms Her white porcelain skin benumbed by the gloom of doom Her torn red frolic dress falls revealing her sanctum; a heart as hollow as a phantom I remember her crooked brown brows as her emotion frowns, with arms hugging her disowned broken boughs thick black blood runs from her mind to her chin and she grins as she mouths the word 'sin'. She dances to direction of the ocean of tears and blood of the ancient mourners She sinks deeper as she cries...

cinta

Usia tidak seharusnya membataskan cinta. sering yang tergambar pada citra itu teruna dan dara yang baru mengenal rasa sedang itu, jauh dari dari pengertianya sedang cinta itu tidak dibatasi apa-apa mahupun siapa, mahupun bila, mahupun usia cinta sering terlihat pergi sedang dia masih di  situ terlipat dalam lipatan masa dan kekalutan kehidupan dia duduk di situ menyaksikan wujudnya terlupakan cinta tidak mati, tetapi menjadi saksi  pada kedut di tangan mengiringi suapan makan  pada getar bicara mengepung air mata pada keruh keringat mencari nikmat pada kaku ucapan menahan perasaan dan pada diam yang tidak pernah padam cinta itu ada, cuma bayangnya tiada.