Skip to main content

Hujan diam

hujan diam
menyanyi di labirin hati
rintik merintis sayu dan rindu
membawa aku
terkenang kamu

dalam lamunan tampak balam
kamu hadir dengan senyum amat dalam
sedalam rahsia yang kamu kunci semalam
tidak bisa aku selam
tidak bisa aku faham

hujan diam
terus menari berlantaikan atap usang
di mana pernah kita bertandang
bersama mengira bintang
dan aku pernah berkata
"kejora kerdil itu adalah aku,
purnama gah itu kamu"
kerna kamu akan sunyi tanpa aku
tetapi aku tidak bisa sinar tanpa kamu

hujan diam
dinginnya kejam
membekukan citra yang baru mula
membunuh lagu dan irama
yang aku dan kamu nyanyikan bersama
membawa kamu kabut di balik awan
tiada terintai pada penglihatan

mungkin jua hujan diam ini selamanya
tetapi mentari semalam masih aku simpan sinarnya.

-kiambang-
16062009

:: persahabatan, nilainya lebih dari sebuah kenangan...

Comments

  1. rangkap ke 3 hebat. hebat sehingga boleh masuk dialog! memang dewi puisi~

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Day I Thought I Liked You (Love in Laugh and Loo)

The day I thought I liked you All the tweak and twist at the corner of your face seemed like a smile to me The actual profuse smiles of yours, were like stars that rained upon me Your eyes twinkled like glitters from a fairy’s wand, waving sending me spinning in a galaxy of a romantic hope Hope and belief, that I liked you The day I thought I liked you Your laughter sounded like rhythm of the ocean waves Full of energy from an orgy of the marine life dancing in carousel at the deep of your soul Your boisterous mirth in the loudness of a masculine voice tickled me like a mermaid’s hand carousing a harp made of wind howl then I laughed with you and thought I really liked you The day I thought I liked you Your sorrow was painful but beautiful Every crack in your voice when you spoke of your sadness was like the thumping sound of an angry angel’s singing, sending a throbbing shock to my heart, grasping with ...

Eucalyptus; A ghost.

In the deep dark of the dead dawn A forest of grief has grown Rest in rage, a corpse of Eucalyptus slow dancing in a hiatus The moon up so high in the sky hides his eyes away behind lashes of a shameful decay refuses to see how her body sways The riot rhythmic moves of her stained feet mopping the floor of the rooted, tangled deceit the dusty ashes of her lost sanity appeals for a fleet I remember how she opens her eyes when she cries Trying to roll back the tears forming a lake beneath her bosoms Her white porcelain skin benumbed by the gloom of doom Her torn red frolic dress falls revealing her sanctum; a heart as hollow as a phantom I remember her crooked brown brows as her emotion frowns, with arms hugging her disowned broken boughs thick black blood runs from her mind to her chin and she grins as she mouths the word 'sin'. She dances to direction of the ocean of tears and blood of the ancient mourners She sinks deeper as she cries...

cinta

Usia tidak seharusnya membataskan cinta. sering yang tergambar pada citra itu teruna dan dara yang baru mengenal rasa sedang itu, jauh dari dari pengertianya sedang cinta itu tidak dibatasi apa-apa mahupun siapa, mahupun bila, mahupun usia cinta sering terlihat pergi sedang dia masih di  situ terlipat dalam lipatan masa dan kekalutan kehidupan dia duduk di situ menyaksikan wujudnya terlupakan cinta tidak mati, tetapi menjadi saksi  pada kedut di tangan mengiringi suapan makan  pada getar bicara mengepung air mata pada keruh keringat mencari nikmat pada kaku ucapan menahan perasaan dan pada diam yang tidak pernah padam cinta itu ada, cuma bayangnya tiada.