Skip to main content

Ayah

Malam-malam yang kelam
Degil mata tidak mahu pejam
Dipasak anak mata pada atap berwarna suram
Direnung dinding kayu berselumbar tajam
Ditatap almari kelabu bercorak hitam
Dibolak balik badan di atas tilam

Ayah masih berjaga di larut malam
Semalam, ayah melakar sebuah kisah
Sekajang memoir bertinta darah
Seraut perjuangan menjadi sejarah

Namun, sejarah itu menjadi khazanah
Tersimpan di cerok rumah
Terkambus dan tetimbus dek tanah

Tanpa cangkul di tangan
Ayah mengali semula kenangan
Berputar ligat di enjin fikiran
Menyelak helai-helai perjuangan
Merungkai simpul-simpul pengorbanan
Mengusap luka-luka yang terkesan
Bukti cinta yang tak dimengertikan

Pada lewat usia meniti senja
Ayah menyaksi negara merdeka
Dari sebangsa kini tiga warna
Dari berbasikal kini berkereta
Dari tanah merah kini jalan raya
Dari rumah papan kini berbatu bata

Ayah kerut dahi tertanya-tanya
Apa ini benar-benar kita?
Pada lewat usia meniti senja
Ayah menyaksi anak-anak mendewasa
Dari dungu menjadi cikgu
Dari serba kurang menjadi pejuang
Dari kuli menjadi bos sendiri
Dari bertatih ke negeri orang putih

Ayah senyum bangga
Anak-anak ku berjaya
Ayah kerut dahi semula
Apa itu benar-benar mereka?
Ayah cuba pejam mata
Tapi matanya tidak tahu lena
Segala cerita menerka dan menerpa
Memenuhi ruang udara di sebuah rumah tua

Rumah itu terasa sunyi
Sunyi dan sepi tanpa bunyi
Kecuali detik jam yang hampir kehabisan bateri
Ayah pusing ke kanan dan ke kiri
Bagai terdengar anak-anak berlari
Bernyayi-nyayi memenuhi segenap ruang hati
Menangis sedih dan ketawa riang
Ah’ punyakah ingatan hanya pada ayah seorang?

Ayah tahu, mata itu memang begitu
Ayah rasa hatinya dibalut rindu
Rindu pada riuh hari-hari yang berlalu
Ayah juga tahu rindu agung untuk Dia yang satu

Mata tiada lagi dipaksa pejam
Kerana itu tidak mengundang tenang
Ayah ke pancur usang
Mengambil air sembahyang
Di ruang tamu sejadah dibentang
Dalam sujud yang tiada sudah
Ayah rangkul semua kisah
Menjadi doa penuh berserah

Seorang ayah di tikar sejadah
Tiada jemu tangan menadah
Air mata tumpah mencurah
Mengalir tenang di kedut wajah
-kiambang-
NOV 5TH,O7, 1:33 AM

MELBOURNE

Comments

  1. mmmm...
    terharu n sedih angh bace mak cik..:(

    ReplyDelete
  2. Huhuuu, how I wish my ayah will baca this.. geee~

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Day I Thought I Liked You (Love in Laugh and Loo)

The day I thought I liked you All the tweak and twist at the corner of your face seemed like a smile to me The actual profuse smiles of yours, were like stars that rained upon me Your eyes twinkled like glitters from a fairy’s wand, waving sending me spinning in a galaxy of a romantic hope Hope and belief, that I liked you The day I thought I liked you Your laughter sounded like rhythm of the ocean waves Full of energy from an orgy of the marine life dancing in carousel at the deep of your soul Your boisterous mirth in the loudness of a masculine voice tickled me like a mermaid’s hand carousing a harp made of wind howl then I laughed with you and thought I really liked you The day I thought I liked you Your sorrow was painful but beautiful Every crack in your voice when you spoke of your sadness was like the thumping sound of an angry angel’s singing, sending a throbbing shock to my heart, grasping with ...

Eucalyptus; A ghost.

In the deep dark of the dead dawn A forest of grief has grown Rest in rage, a corpse of Eucalyptus slow dancing in a hiatus The moon up so high in the sky hides his eyes away behind lashes of a shameful decay refuses to see how her body sways The riot rhythmic moves of her stained feet mopping the floor of the rooted, tangled deceit the dusty ashes of her lost sanity appeals for a fleet I remember how she opens her eyes when she cries Trying to roll back the tears forming a lake beneath her bosoms Her white porcelain skin benumbed by the gloom of doom Her torn red frolic dress falls revealing her sanctum; a heart as hollow as a phantom I remember her crooked brown brows as her emotion frowns, with arms hugging her disowned broken boughs thick black blood runs from her mind to her chin and she grins as she mouths the word 'sin'. She dances to direction of the ocean of tears and blood of the ancient mourners She sinks deeper as she cries...

cinta

Usia tidak seharusnya membataskan cinta. sering yang tergambar pada citra itu teruna dan dara yang baru mengenal rasa sedang itu, jauh dari dari pengertianya sedang cinta itu tidak dibatasi apa-apa mahupun siapa, mahupun bila, mahupun usia cinta sering terlihat pergi sedang dia masih di  situ terlipat dalam lipatan masa dan kekalutan kehidupan dia duduk di situ menyaksikan wujudnya terlupakan cinta tidak mati, tetapi menjadi saksi  pada kedut di tangan mengiringi suapan makan  pada getar bicara mengepung air mata pada keruh keringat mencari nikmat pada kaku ucapan menahan perasaan dan pada diam yang tidak pernah padam cinta itu ada, cuma bayangnya tiada.